Hidden Message

#30HariMenulis_Hari_13

BRAK ! suara dentaman keras itu membuatku terlonjak. Aku menoleh dan mendapati Leo sedang berjongkok dengan sebuah laci dari meja yang dari tadi sedang ia bersihkan, isinya berhamburan keluar. Leo menatapku dengan perasaan bersalah. Continue reading

Dorama

#30HariMenulis_Hari_12

Mau curhat dulu setitik. Jadi kemarin sebenarnya sudah menyiapkan tulisan buat setor hari ini, tapi ternyata harus diambil dari inisial nama dan tulisan yang saya siapkan berbeda, akhirnya malah mengerjakan hal lain dulu dan lagi lagi jadi pejuang deadline. lol Continue reading

Kegelapan

#30HariMenulis_Hari_11

Jangan takut akan gelap

Karena gelap melindungi diri kita

Dari kelelahan~

Masih ingat penggalan lagu itu? Yak, yang tau berarti udah tua hahaha, soalnya lagunya udah lama banget loh. Tasya aja dulu masih bocil, alias bocah cilik, sekarang udah gendong anak loh. LOL Continue reading

Lucky number…

#30HariMenulis_Hari_10

As long as I can remember, 7 selalu jadi NOMORKU. Angka ini memang banyak yang mengaitkan dengan keberuntungan, buatku pribadi ini adalah tanggal kelahiran yang lalu menjadi angka favorit sepanjang masa. Maka tidak heran semua akun media sosialku kebanyakan ada angka 7 nya. Seperti sudah otomatis aja rasanya harus dekat dengan angka 7. Continue reading

Kitten

#30HariMenulis_Hari_6

“Eh, maksudnya yang mau dibawa pulang ama majikan gue tuh dia?” Tanya Kyo sambil melirik seekor anak kucing berwarna hitam putih yang tertidur melingkar di atas sebuah bantal.

“Kayaknya gitu sih,” jawabku. Sudah setengah jam sejak Dini, majikanku, dan majikan Kyo serta salah seorang teman mereka sedang berbincang di ruangan depan. Aku, Kyo dan satu kucing seukuran kami yang tadi Kyo bilang majikannya akan membawa dia juga, dibiarkan bermain di ruangan sebelah.

“Kalau majikan gue berpaling sama dia gimana?” Tanya Kyo, mukanya merengut seakan tak percaya kalau majikannya malah mau membawa kucing kampung, berbeda dengannya yang kucing mahal yang majikannya beli di pet shop.

“Ya itu sih derita lo!” ucapku, rasa-rasanya aku mulai lapar dan aku ingat Dini menyimpan makanan kesukaanku di dalam tas ketika pergi tadi. Susah payah aku melompat melewati beberapa barang sampai di kaki dekat tas Dini tergeletak.

“Nanti jatuh loh!” seru Kyo dari kejauhan ternyata dia memperhatikan aku.

Aku yang kelaparan tidak peduli dan segera melompat ke dalam tas milik Dini, aroma camilan kucing tercium di hidungku, aku mengais-ngais dengan tanganku yang kecil, tapi pandanganku teralihkan dengan sebuah benda pipih panjang berbentuk bulat. Ini apa ya? Gambarnya abstrak karena aku melihatnya dari jarak sangat dekat, ku belai permukaannya yang tertutup plastik, licin, dingin, pipih dan putih. Menyenangkan karena setiap aku melompat sambil mencengkramkan kuku kuku ini, aku terjatuh, kucoba lagi, begitu terus.

BRAKK

Tas Dini terguling, aku ikut berguling keluar dari tas berwarna merah itu, kulihat mata Dini melihat ke arahku, “Meong~” ucapku tentu saja dia tidak mengerti apa yang kukatakan.

“YA AMPUN!!” serunya histeris. Aku kaget, mundur beberapa langkah dari tempatku, “ASTAGAAA!! UCHIWA* NYA TAIGA RUSAAAKKK!!!” serunya, matanya marah menatapku, “Hoku kucing nakal!!” katanya, kulihat benda pipih tertutup plastik itu sudah tak karuan bentuknya.

Dini terlihat shock, “Ya ampun sayang banget itu limited edition, kan?” ucap salah satu teman Dini, gadis itu pun mengangguk sambil menangis tersedu-sedu.

Aku berbalik dan segera melarikan diri. Dini pasti marah besar, dia menangis, bahkan sampai berteriak padaku. Kudengar Kyo berteriak padaku “Hoku!!! Hoku!!” tapi aku tetap berlari, mencari tempat persembunyian, kutemukan sebuah kursi besar dan aku berlindung di sana.

Entah sudah berapa lama aku di sana ketika aku mendengar sayup-sayup ada yang memanggilku, Kyo?

“Hokuuuu??!” Eh, suara Dini!! Aduh bagaimana ini kalau Dini mengusirku? Ada kucing lain tadi apa Dini akan membawa kucing itu dan melupakan aku? Belum sempat aku berpikir lagi, kulihat mata majikanku melihat tepat ke arahku, “Ya ampun dicari-cari malah ada di sini, jangan kabur-kaburan terus dong,” ucapnya seraya menarikku dari bawah kursi dan mendekapku.

“Maaf,” ucapku lirih, “Maaf merusak benda kesayanganmu,” tambahku tapi tentu Dini hanya bisa mendengar “miawww miaww…”

“Pasti lapar ya? Ayo makan dulu,” katanya sambil membelaiku sayang.

“Hoku-nya ketemu, Din?” Tanya majikan Kyo yang juga sedang menggendong Kyo.

“Ketemu, di kamar sebelah sana, dia kaget kali ya tadi aku bentak. Kalau Hoku yang hilang aku jantungan deh, jangan kabur-kaburan lagi ya Hoku,” katanya lalu menciumku pelan.

Aku tersenyum ternyata Dini masih sayang padaku.

 

Words count : 491

Foto

#30HariMenulis_Hari_4

Tapi resolusi foto itu terlalu bagus sehingga dengan cepat menepis semua positive thinking-nya, it’s really him– nggak salah lagi. (Diambil dari Novel Mouth to Mouth karya Christian Simamora hal. 126).

“Lu yakin?” Hani kembali bertanya, alisnya berkerut tampak bingung.

“Menurut lu?” ucap Karin, menyerahkan ponsel pintarnya ke tangan Hani, “Nggak nyangka gue, cuma segini aja hubungan gue sama dia bertahan,” walaupun terdengar kuat tapi Hani yakin bisa melihat mata Karin yang mulai berkaca-kaca.

“Mendingan lu nanya langsung deh sama dia, bisa aja ini temennya, dan nggak sengaja pose kayak gini,” wanita kadang memang kelewat positive thinking, sudah jelas terlihat bermesraan pun masih bisa meyakinkan diri kalau itu hanya sekedar teman saja.

Di foto itu mas Bambang-nya terlihat mesra, menautkan jemarinya bukan dengan jemari Karin, tapi dengan orang lain, “Han, serius lu nyuruh gue nanya langsung? Itu buktinya udah kurang kuat apa sih? Pantesan selama ini kadang dia suka bersikap aneh gitu,” pikiran Karin melayang ke sikap-sikap Bambang yang mulai cuek padanya, hubungan yang mereka bina hampir setahun lamanya itu sudah mulai terasa hambar, Bambang jarang menghubunginya kecuali Ibunya yang meminta kalaupun bertemu pacarnya itu lebih sibuk dengan ponsel ketimbang dengannya.

“Terus lu mau gimana? Putus?”

“Emang ada opsi lain?”

Kali ini Hani yang terdiam, rasanya dia tidak bisa memberikan opsi lain yang lebih masuk akal daripada putus, “Yaaaa iya sih.”

“Udah lah, besok gue ketemu Bambang, gue mau mutusin dia, kali ini selamanya,” memang sudah beberapa kali Karin dan Bambang putus karena masalah sepele. Entah karena Karin yang keras kepala ingin diantar tapi Bambang tidak bisa, atau Bambang yang merasa terkekang dengan posesifnya Karin, ya, masalah percintaan biasa.

Karin pamit pada Hani, sepertinya sudah saatnya dia pulang, hari sudah malam dan mungkin ia ingin menangis sebentar untuk melepaskan rasa sesaknya sekarang. Bukan karena yang di foto itu lebih cantik dari dirinya, tapi Karin jelas sudah merasa kalah telak dan urung melanjutkan perjuangannya untuk merebut hati Bambang ketika foto yang ia lihat itu Bambang sedang berpegangan tangan dengan Jono.

 

Words count : 328

Langkah Kecil

#30HariMenulis2019_Hari_3

Sore ini aku berbelanja keperluan harian di salah satu mini market di daerah Bogor. Belanjaanku cukup banyak, aku mencoba mencari tas belanja yang biasanya ada di saku jok belakang tapi tidak ketemu.

“Kemarin kan kita belanja terus tas nya disimpan di atas meja makan!” seru suamiku mengingatkan.

Dengan berat hati aku pun sudah bersiap untuk membayar 200 perak demi sebuah plastik yang nantinya akan jadi sampah yang sulit terurai itu. Tapi ya hanya 200 rupiah sih murah lah, daripada harus kembali dulu ke rumah mengambil tas belanja.

“Tas belanjanya bawa, bu?” aku menggeleng, biasanya akan dilanjutkan dengan penawaran harga plastik 200 rupiah. Tapi si kasir ini diam lalu melanjutkan menghitung harga belanjaanku, “Keranjangnya mau dibawa dulu, bu?”

Aku terdiam sesaat, bahkan mungkin tampangku sekarang seperti orang bodoh, “Maksudnya?”

“Ya, disimpan dulu belanjaannya di mobil atau motor bu, nanti keranjangnya kembalikan ke dalam,” tambahnya lagi.

Ternyata mini market itu sama sekali tidak menyediakan plastik, ketika konsumen tidak membawa tas belanja, maka pilihannya adalah membeli tas belanja yang disediakan di sana atau menyimpan barang belanjaan lalu mengembalikan keranjangnya lagi ke dalam.

“Di Indonesia itu apa-apa harus dipaksa, lihat saja jalan depan Maranatha itu (Universitas di Bandung) dulu lu tau kan macetnya kayak apa, nah sekarang setelah disekat sama semen baru deh pada teratur jalannya karena nggak bisa ambil jalan orang,” begitu kata salah satu temanku suatu hari. Jalan di depan Universitas terkenal di Bandung itu memang dulu selalu macet, karena jalannya sempit dan banyak yang mengambil jalan arah berlawanan. Alhasil yang seharusnya dua jalur pun bisa beranak pinak menjadi tiga sampai empat jalur.

Aku terngiang dengan percakapan itu, dan teringat akan usaha Pemerintah untuk mengurangi sampah plastik yang tidak kunjung membuahkan hasil karena kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya sampah plastik untuk kelangsungan tempat hidup kita. Apalagi karena harga plastik yang berbayar hanyalah 200 rupiah saja, coba kalau harganya minimal 2000 hingga 5000 rupiah. Pasti orang Indonesia yang sukanya dipaksa ini akan lama-lama terbiasa dengan membawa tas belanja sendiri. Hebat sekali mini market ini mencoba untuk membawa anjuran Pemerintah ke next level, memaksa pelanggannya untuk membawa tas belanja sendiri. Langkah kecil, tapi berarti, tidak sekedar hanya menghimbau tapi masih menyediakan plastik berbayar.

Words count: 359

P.S : Hampir telaaattt haduuhh, saking sibuknya jadi cuma kepikiran tulisan begini. Ah sudahlah yang penting lunas, hehe